Blog yang berisikan informasi seputar kesehatan dan dunia kedokteran .

Breaking

Monday, 18 November 2019

Patogenesis dan patofisiologi edema paru non kardiogenik dan ARDS

Blog Dokter Sobri

Patogenesis dan patofisiologi edema paru non kardiogenik dan ARDS


Secara umum, edema paru merupakan kondisi dimana terjadi akumulasi cairan abnormal di kompartemen ekstravaskular paru, baik di jaringan interstisial maupun di alveoli. Beberapa faktor yang berperan pada kondisi ini antara lain peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru, penurunan tekanan onkotik di pembuluh darah, dan peningkatan permeabilitas kapiler. Berdasarkan penyebabnya, edema paru dibagi menjadi dua jenis, yaitu edema paru kardiogenik dan edema paru nonkardiogenik. Edema paru kardiogenik umumnya disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik sebagai akibat  dari  peningkatan tekanan vena. Penyebab kardiogenik biasanya disebabkan oleh kelainan jantung, misalnya gagal jantung kiri akibat hipertensi pulmoner. Edema paru kardiogenik umumnya ditandai dengan tekanan darah sistemik yang tinggi (>180/110).1

Sementara itu, edema paru non kardiogenik umumnya disebabkan karena peningkatan permeabilitas kapiler sebagai akibat dari respon inflamasi terhadap jejas pada paru, misalnya akibat infeksi, inhalasi zat toksik, dan trauma dada. Pada kondisi sepsis, inflamasi terjadi di seluruh tubuh, sehingga terdapat ekstravasasi cairan sistemik, termasuk di paru. Selain peningkatan permeabilitas kapiler, edema paru nonkardiogenik juga dapat disebabkan oleh tekanan onkotik yang rendah, misalnya pada keadaan hipoalbuminemia pada malnutrisi dan kegagalan liver atau keadaan dimana terjadi kehilangan protein pada sindrom nefrotik. Pada sebagian besar kasus, etiologi dapat ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun, pada beberapa kasus, diperlukan pula pemeriksaan penunjang lain, seperti pemeriksaan radiologi. 1

Edema paru akibat gangguan permeabilitas terjadi ketika cairan dan protein yang keluar dari pembuluh darah melebihi laju pembuangannya. Adanya gangguan permeabilitas menyebabkan zat lebih mudah keluar sehingga biasanya cairan dan protein lebih banyak menumpuk. Pembentukan edema akan lebih sensitif terhadap peningkatan tekanan jika pembatas antara alveoli dan kapiler darah (barrier) sudah rusak. Peningkatan tekanan ini umumnya disebabkan karena terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti tromboksan yang menyebabkan efek vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan terjadinya  peningkatan tekanan, atau efek lain ke jantung dan sirkulasi seperti peningkatan tekanan atrium kiri dan peningkatan curah jantung pada kondisi sepsis. 1

Kerusakan pembatas antara alveoli dan kapiler darah menyebabkan hilangnya protein protektif yang menjaga tekanan osmotik absorptif sehingga gaya filtrasi tidak dioposisi gaya absorpsi,

meskipun tekanan hidrostatiknya normal. Pembuluh limfe memiliki kemampuan untuk memompa lebih kuat ketika paru mengalami kerusakan, tetapi pada suatu titik tidak bisa mengompensasi melebihi kebocoran yang terjadi. Cairan dapat langsung menumpuk di alveolus tanpa mengikuti aliran gradien tekanan yang dijelaskan sebelumnya karena resistensi terhadap cairan dan protein terbesar terletak di barrier epitel yang pada kasus ini sudah rusak. Secara klinis, pasien dengan edema jenis ini memiliki tekanan hidrostatik intravaskuler yang rendah atau normal (yang dinilai dari pulmonary capillary wedge pressure) yang dapat dipengaruhi penyakit penyebabnya seperti sepsis. 1

Dampak terhadap pertukaran gas dan aktivitas mekanik paru bergantung pada derajat edema dan beratnya penyebab kausatifnya. Gangguan mekanik paru terjadi setelah cairan mengisi alveolus. Hal ini menyebabkan penurunan kapasitas residu fungsional dan penurunan compliance paru. Peningkatan berat paru akibat cairan dapat menyebabkan kolaps dari bagian paru sehingga volume paru berkurang. Hilangnya volume paru utamanya terjadi di bagian bawah karena beban yang diterima lebih banyak dibandingkan paru bagian atas. Penurunan volume paru  menimbulkan resistensi  saluran  napas,  yang  bisa  diperberat  dengan  bronkospasme. Kemampuan ekspansi dinding dada juga dapat berkurang karena distensi abdomen, edema dinding dada, dan efusi pleura. Pertukaran gas pada pasien dengan edema paru nonkardiogenik akan sangat berkurang akibat adanya pirau dari aliran darah dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Adanya pirau dari aliran darah menandakan banyak unit fungsional paru yang tidak diperdarahi.

Proses patologis kerusakan pada edema paru terdiri atas fase eksudatif, proliferatif, dan fibrotik. Fase eksudatif diawali dengan edema dan perdarahan  di alveolus dan interstisial. Kerusakan dapat disertai pembentukan membran hialin yang terdiri atas protein plasma, fibrin, dan debris nekrotik. Kerusakan alveolus juga dapat terjadi, terutama terhadap sel epitel tipe I yang menjadi membengkak, diskontinu, dan tidak teratur, dengan membran basal yang biasanya masih intak dan ditutupi membran hialin. Sementara itu, kerusakan pada sel epitel tipe II hampir selalu lebih ringan. Jaringan interstisial akan tampak melebar akibat edema, ada cuff peribronkovaskuler, dan bisa  terdapat leukosit, platelet, eritrosit,  fibrin,  dan  debris  terutama sekitar  alveolus. Fase eksudatif terjadi sekitar 5-7 hari setelah kerusakan. 1

Fase selanjutnya adalah fase proliferatif. Pada fase ini, sebagian cairan sudah direabsorpsi dari alveolus, fibrin banyak terdapat di alveolus dan jaringan interstisial, disertai dengan sel inflamasi dan fibroblas yang membentuk infiltrat. Epitel alveolus sering menjadi kuboid yang tersusun utamanya adalah sel tipe II yang berproliferasi. Sawar udara darah dapat menebal karena penebalan epitel dan jaringan interstisial. Fase proliferatif umumnya selesai dalam 10-14 hari setelah kerusakan, lalu lanjut ke fase fibrotik. 1

Pada fase fibrotik, terjadi fibrosis pada duktus alveolus, alveolus, dan jaringan interstisial. Fibrosis pada alveolus dapat menyebabkan alveolus rusak dan fungsinya hilang. Pada beberapa kondisi, kadang dapat ditemukan perubahan seperti bula emfisema. Adanya kerusakan tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru dalam bentuk keterbatasan aktivitas, meskipun kondisi edema sudah kembali normal atau mendekati normal. 1
Gagal napas akut (acute respiratory distress syndrome / ARDS) merupakan salah satu kondisi dimana terjadi edema paru non kardiogenik. ARDS umumnya ditandai dengan sesak yang berprogesi dengan cepat, disertai dengan kondisi takipnea dan hipoksemia. ARDS diperkirakan terjadi akibat respons inflamasi terhadap jejas di paru atau ekstraparu yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dan akumulasi neutrophil di  mikrosirkulaasi paru. Kerusakan endotel vaskular dan alveoli menyebabkan edema paru, pembentukan membrane hialin, penurunan kemampuan ekspansi paru, serta gangguan difusi gas. Sebagian besar kasus ARDS berkaitan dengan pneumonia dan sepsis. Kriteria diagnosis dari ARDS meliputi onset akut, hipoksemia berat, infiltrat paru bilateral, serta tidak adanya hipertensi atrial.

Regards
Blog Dokter Sobri

No comments:

Post a Comment

# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.

# Terima Kasih