Blog yang berisikan informasi seputar kesehatan dan dunia kedokteran .

Breaking

Monday, 8 January 2018

Bagaimana hipertensi dan kebiasaan merokok dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner serta tata laksananya?

Blog Dokter Sobri


Bagaimana hipertensi dan kebiasaan merokok dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner serta tata laksananya?

Penyakit jantung koroner merupakan suatu keadaan terjadi penimbunan plak pembuluh darah koroner yang disebabkan oleh suplai darah dan oksigen ke lapisan miokardium tidak adekuat. Hal ini menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat. Faktor risiko penyakit jantung koroner terbagi dalam faktor risiko primer dan faktor risiko sekunder. Faktor risiko primer adalah faktor yang menyebabkan gangguan arteri berupa ateroskleorisis, hipertensi, dan merokok. Sedangkan untuk faktor risiko sekunder adalah kelainan arteri bila ditemukan faktor lain secara bersamaan berupa diabetes melitus, penyakit ginjal, preeklampsia pada ibu hamil dan sebagainya.1 WHO mengestimasi sebanyak 20 juta kasus kematian akibat jantung koroner pada tahun 2015 dan 80% kasus kematian datang dari negara-negara berkembang seperti halnya di Indonesia.2
          Berdasarkan data tersebut, tentu sangat mengkhawatirkan mengingat tingginya prevalensi dan koomplikasi penyakit yang ditimbulkan dari penyakit jantung koroner. Berikut adalah outline yang akan dibahas dalam tulisan ini berupa:
  • 1.     Etiologi hipertensi
  • 2.     Patogenesis dan patofisiologi hipertensi dan merokok yang berakibat pada penyakit jantung
  • 3.     Klasifikasi hipertensi
  • 4.     Komplikasi hipertensi
  • 5.     Tanda dan gejala hipertensi
  • 6.     Prinsip tatalaksana hipertensi dan merokok
  • 7.     Menegakkan diagnosis hipertensi


Hipertensi
I.                  Etiologi
Berdasarkan penyebab terjadi hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu1:
1.     Hipertensi primer / hipertensi esensial
·        Tidak diketahui penyebabnya (idiopatik)
·        Terdapat lebih dari 95% kasus.3
·        Genetik, lingkungan , alkohol, obesitas, merokok, defek eksresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler, RAAS, dan hiperaktivitas susunan saraf yang merupakan faktor yang mempengaruhi terjadi hipertensi primer.
2.     Hipertensi sekunder / hipertensi renal
·        Penyebabnya spesifik dapat diketahui
·        Terdapat sekitar 5% kasus.3
·        Penyakit ginjal, trauma pada ginjal, sindrom cushing, preeklampsia dan terapi radiologi yang mengenai ginjal merupakan faktor terjadinya hipertensi sekunder.

II.               Patogenesis dan patofisiologi
Hipertensi biasanya dipakai penggunaan jka terjadi abnormalitas tekanan darah dimana terjadi kenaikan tekanan darah diastolik atau sistolik. Saat ini teori mengeai patogenesis dari hipertensi terus berkembang. Tekanan darah arteri adalah produk hasil total resistensi perifer dan curah jantung. Curah jantung dapat meningkat karena terjadi keadaan yang meningkatkan frekuensi jantung. Resistensi perifer dapat meningkat karena adanya faktor seperti viskositasi darah dan ukuran lumen pembuluh darah khususnya pembuluh arteriol.4 Pada tahap awal terjadi hipertensi primer, curah jantung meningkat namun tahanan perifer normal. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan aktifitas simpatik. Pada tahap lainnya, curah jantung normal dan tekanan darah perifer meningkat. Hal ini disebabkan refleks autoregulasi (mekanisme tubuh mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal). 
Kejadian hipertensi terhadap kelainan jantung terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Hipertensi menyebabkan terjadinya peningkatan afterload sehingga terjadi kompensasi hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik dan sistolik. Hipertensi yang berlangsung dengan durasi lama dapat meningkatkan beban kerja jantung karena terjadi peningkatan resistensi terhadap ejeksi dari ventrikel kiri. Untuk meningkatkan kontraksinya, ventrikel kiri mengalami hipertrofi sebagai kompensasi untuk kebutuhan jantung akan oksigen dapat meningkat. Beberapa teori menyebabkan terjadinya hipertensi yaitu4,5

Perubahan pada bantalan dinding pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan resistensi perifer;
Peningkatan tonus pada sistem saraf otonom yaitu sistem saraf simpatik yang menyebabkan terjadi peningkatan resistensi vaskuler perifer;
Penambahan volume darah yang terjadi karena disfungsi ginjal;
Peningkatan penebalan dinding arteriol akibat faktor gen yang menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi vaskuler perifer;
Pelepasan renin yang tidak biasa sehingga terbentuk angiotensin II yang menimbulkan terjadi kontriksi arteriol dan meningkatkan volume darah.
III.           Klasifikasi Hipertensi
Terdapat klasifikasi yang digunakan dalam menilai apakah pasien menderita hipertensi atau tidak. Berbagai negara terutama Indonesia menggunakan klasifikasi menurut Joint National Committee 7 (JNC 7) dan WHO . Berikut merupakan klasifikasi hipertensi dari kedua sumber yaitu :

Klasifikasi
Klasifikasi
Diastolik
Normotensi
< 140
140 – 160
Hipertensi ringan
140 –180
140 – 160
Hipertensi perbatasan
140 –180
90 – 95
Hipetensi sedang dan berat
> 180
> 105
Hipertensi sistolik terisolasi
> 140
< 90
Hipertensi sistolik terisolasi
140 – 160
< 90

IV.            Komplikasi hipertensi
Komplikasi hipertensi meliputi 4:
·        Hipertensi berat : Penyakit arteri perifer, Penyakit jantung koroner, angina, infark miokard, aneurisma aorta dissecting,aritmia, gagal jantung dan kematian mendadak;
·        Hipertensi ringan dan sedang :Serangan iskemik, stroke, reinopati dan ensefalopati hipertensi;
·        Hipertensi yang lama : Gagal ginjal.
V.               Tanda dan gejala hipertensi
Pada umumnya hipertensi sering disertai dengan tanpa gejala atau bersifat asimtomatik. Namun ada beberapa aspek dan tanda klinis yang dapat dikenali yaitu 4,5:
1.     Tekanan darah meningkat
2.     Berdasarkan survey hipertensi ditemukan gejala
a.      Sakit kepala, pusing, migren, epistaksis, nyeri kepala oksipital, sesak napas, bruits (bising pembuluh darah yang dapat terdengar), susah tidur, telinga berdenging, sesak napas, nyeri dada,dan mata berkunang-kuning.
3.     Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi dari hipertensi yaitu:
a.      Gangguan penglihatan;
b.     Gangguan neurologi;
c.      Gagal jantung;
d.     Gangguan fungsi ginjal.
VI.            Prinsip tatalaksana hipertensi
Dalam penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan risiko penyakit jantung dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi yang ada hanya untuk mempertahankan tekanan sistolik dan diastolik untuk mengontrol faktor risiko.8 
Terapi Non-Farmako
     Pada dasarnya pada pasien yang terjadi pre-hypertension. Tata laksana hipertensi asimtomatik yang diberikan dapat melalui modifikasi gaya hidup, diet dan aktivitas fisik. Modifikasi gaya hidup bisa dibilang cukup efektif karena dapat menurunkan penyakit jantung dengan biaya minimal dan risiko minimal. Adapun langkah-langkah berupa7:
1.     Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (IMT ³ 27);
2.     Mengurangi konsumsi alkohol;
3.     Meningkatkan aktivitas fisik aerobik;
4.     Mengurangi asupan natrium;
5.     Mempertahankan asupan kalsium dan magensium;
6.     Berhenti merokok;
7.     Mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.

Terapi Farmako
Semua agen terapi antihipertensi bekerja pada salah satu atau lebih area anatomis  yang mengontrol tekanan darah, yaitu arteri (resistensi), vena (kapasitas), curah jantung dan ginjal (pengatur volume). Agen tersebut akan mengintegrasikan dengan mekanisme regulasi tekanan darah normal.9 
Pengobatan lini pertama

a)    Diuretik
Diuretik bekerja dalam menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan penyimpanan natrium dalam tubuh (meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida).Pada dasarnya,  Natrium memiliki peran dalam resistensi vaskuler melalui mekanismenya dalam meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan aktivitas saraf, yang akan meningkatkan pertukaran ion natrium-kalsium. Dengan menurunkan kadar natrium serum dan vaskularisasi otot polos, resistensi vaskular menurun sehingga tekanan darah pun akan menurun.9,11
Terdapat 3 kelompok diuretik yang digunakan sebagai obat antihipertensi:
a.1. Tiazid
Tiazid merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati pasien dengan hipertensi ringan hingga sedang. Obat ini bekerja di tubulus distal segmen intermediet, yaitu dengan menghambat kotranspor antara Na+ dan Cl-. Akibatnya, reabsorpsi NaCl dan air terhambat. Ekskresi ion Ca2+ menurun, sebaliknya ekskresi ion Mg2+ meningkat. Penggunaan tiazid seringkali dikombinasikan dengan obat-obat antihipertensi lain dalam menghadapi pasien dengan hipertensi. Hal ini dikarenakan obat ini dapat meningkatkan efektivitas agen antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda, sehingga dosis dikurangi, juga dapat mencegah retensi cairan akibat penggunaan antihipertensi lain sehingga efek obat  masih dapat bertahan. Contoh obat golongan tiazid adalah hidroklorotiazid (HCT), klorotiazid, bendroflumetiazid,d an beragam diuretik lain yang mempunyai gugus aryl-sulfonamida.10
a.2. Loop diuretics (Diuretik kuat)
Efek obat golongan ini bersifat cepat, intens, dan segera. Obat ini berpengaruh pada ansa Henle ascendens segmen tebal, dengan menghambat kotranspor Na+/K+/2Cl2- dan resorpsi air dan elektrolit. Akibatnya, ketiga elektrolit tersebut akan terekskresi dalam jumlah besar bersama air. Ekskresi Ca2+ dan Mg2+ juga akan meningkat.  Efek samping obat ini hampir sama dengan penggunaan tiazid. Hanya saja pada pemakaian diuretik kuat menimbulkan hiperkalsuria dan penurunan kalsium darah. Contoh obat yang termasuk golongan diuretik kuat adalah furosemid, torasemid, bumetanid, dan asam etakrinat.10

a.3. Potassium sparring diuretics (Diuretik hemat kalium)
Obat ini sangat berguna untuk mencegah ekskresi ion kalium berlebihan serta meningkatkan efek natriuresis. Obat ini bekerja di tubulus distal segmen distal dan duktus kolektivus segmen proksimal, di mana di tempat tersebut Na+ direabsorpsi dan ditukar dengan ion K+ atau H+. Efektivitas obat ini sebagai diuretik memang minimal.
Efek samping pemberian diuretik11:
·        Penurunan volume darah dapat menyebabkan hipotensi dan kolaps
·        Kenaikan viskositas darah akibat peningkatan konsentrasi eritrosit dan trombosit. Hal ini dapat meningkatkan risiko koagulasi intravaskular atau trombosis.
·        Kekurangan ion magnesium (hipomagnesia)
·        Peningkatan konsentrasi lipid dalam serums

b)    Beta blockers
Golongan ini menjadi pilihan obat untuk penderita hipertensi ringan hingga sedang. Pada hipertensi berat, β-blockers berguna dalam mencegah refleks takikardia yang seringkali muncul sebagai akibat penggunaan obat vasodilator. Mekanisme menurunkan tekanan darah terutama dikaitkan dengan penghambatan reseptor β-1, yaitu  dengan menurunkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard yang akan menurunkan cardiac output.. Pada penderita hipertensi ringan hingga sedang, penderita yang diobati dengan golongan β-blockers akan mengalami penurunan tekanan darah secara signifikan tanpa disertai hipotensi. Contoh obat-obat yang tergolong sebagai β-blockers: propanolol, metoprolol, esmolol, dan sebagainya.10

c)     ACE-inhibitor
Angiotensin-Convertizing Enzyme (ACE)-Inhibitor. ACE-I akan mengubah enzim peptidil dipeptidase  yang berperan dalam  menghidrolisis  angiotensin I menjadi angiotensin II. Efek samping: hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, gangguan kecap, gagal ginjal akut, proteinuria, dan efek teratogenik.Contoh obat: kaptopril (golongan pertama) dan lisinopril (bekerja langsung), golongan prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, benzapril, dan sebagainya.10

d)    Angiotensin II receptor blockers (ARB)
Reseptor angiotensin II terdiri dari 2 kelompok, yaitu reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terutama berada di otot polos pembuluh darah dan otot jantung , juga terdapat di  ginjal, otak, dan kelenjar adrenal. Reseptor ini memperantarai seluruh efek fisiologis AngII, terutama yang berperan dalam menjaga homeostasis sistem kardiovaskular.
e)     Ca antagonist (antagonis kalsium)
Selain berperan sebagai obat antianginal dan antiarrrhytmic, antagonis kalsium (Ca channel blockers) juga berperan dalam menurunkan resistensi perifer dan tekanan darah. Mekanisme golongan Ca antagonis ini dengan menginhibisi influks kalsium menuju sel-sel otot polos yang berada di pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium akan meraklasasi arteriol, namun kurang berpengaruh terhadap vena3
Contoh obat: verapamil, diltiazem, dan obat-obatan yang tergolong dalam  family dihidropidiridin seperti amlidipine, felodipine, israpidine, nocarpidine, nifedipine, dan nisoldipine. Obat-obatan tersebut akan dipilih berdasarkan hemodinamik kanal kalsium blocker. Semua obat golongan antagonis kalsium dimetabolisme di hati. Oleh karena itu, penggunaan pada pasien sirosis hati dan pasien lansia harus dilakukan dengan sangat hati-hati.Hanya sedikit yang diekskresikan lewat ginjal secara utuh, sehingga dosis untuk pasieen gangguan ginjal tidak perlu penyesuaian.
Antagonis kalsium dikategorikan menjadi tiga kelompok obat10,11:
e.1. Dihydropyridine
Kelompok ini meliputi berbagai macam obat seperti nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin, dan amlodipin. Golongan ini bersifat vaskuloselektif, yang berarti dapat menguntungkan karena :
a.)                            menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti;
b.)                           relatif aman bila dikombinasikan golongan β-blockers.  
e.2. Diphenylalkilamin
Kelompok obat ini bersifat sangat kardioselektif dengan menurunkan kontraktilitas dan konduksi otot jantung. Contoh obat: verapamil.
e.3. Benzothiazepin
Hampir sama seperti kelompok diphenylalkilamin, kelompok ini bersifat kardioselektif dengan efek yang sama. Contoh obat: diltiazem. Penggunaan diltiazem dan verapamil ini tidak menimbulkan efek takikardia karena memberikan efek kronotropik negatif (menurunkan kecepatan denyut jantung) langsung pada jantung.   

Penanganan Menurut National Institues of Health. 12
1.     Tahap 1 : bantu pasien dengan mengubah ataupun modifikasi gaya hidup, meliputi penurunan berat badan, batasi alkohol, kurangi asupan garam dan berhenti merokok.
2.     Tahap 2 : jika pasien tidak berhasil memulihkan ataupun mencapai tekanan darah yang diinginkan lanjutkan modifikasi gaya hidup dengan terapi obat.  Terapi obat yang iberikan dengan dosis yang rendah.
3.     Tahap 3: jika pasien tidak berhasil mencapai tekanan darah yang diinginkan maka lakukan pemberian obat kombinasi dari golongan berbeda. Kombinasi ini yaitu tingkatkan dosis obat atau ganti dengan obat golongan lainnya.
4.     Tahap 4 : Jika pasien tidak berhasil lagi untuk mencapai tekanan darah yang diinginkan maka kombinasi obat dengan vasodilator, antagonis alfa, dan antagonis neuron adrenergik.

VII.         Menegakkan diagnosis12
a.      Hipertensi ditegakkan dengan 2 kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali adanya gejala klinis beserta kenaikan darah.
b.     Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam keadaan duduk bersandar setelah beristirahat selama 5 menit.
c.      Anamnesis : hipertensi sangat berkaitan erat dengan riwayat penyakit jantung koroner, merokok, gagal jantung, faktor psikososial, makanan dan pemakaian obat bebas.

Kaitan dengan pertanyaan
          Pasien dapat mengalami PJK apabila terjadi krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang berat dan disebabkan oleh salah satu atau lebih mekanisme regulasi. Jika tidak diatasi maka akan berujung pada komplikasi ginjal, jantung, otak dan bisa berujung pada kematian. Berikut merupakan alur terjadinya PJK akibat hipertensi.

Merokok
I.                  Patogenesis merokok
Merokok dapat menyebabkan penyakit jantung, paru dan organ sekitarnya. Merokok dapat menyebabkan terjadi bekuan darah, peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dalam tubuh. Berikut adalah cara merokok efek pada kolesterol yaitu 13:
1.     Merokok dapat menyebabkan penurunan dari HDL dan peningkatan LDL dikarenakan terjadi peningkatan trigliserida.
2.     Merokok dapat mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner dikarenakan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel.
3.     Merokok dapat menyebabkan pembentukan plak pada pembuluh koroner.
4.     Merokok dapat menyebabkan terjadinya free radical.
II.               Tatalaksana pada pasien dengan kebiasaan merokok
Terapi non farmako
     Pada pasien yang memiliki kebiasaan merokok harus dilakukan penghentian ataupun pembatasan merokok secara perlahan. Menurut beberapa sumber pembatasan akan kepuasaan merokok dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet.

Terapi farmako
     Terapi farmako yang cocok untuk adaptif atau pasien yang kecanduan merokok adalah dengan memberikan Nicotine Replacement Therapy. Dimana terapi ini memberiakan efek pengganti untu tidak kecanduan pada rokok yang mengandung nikotin.13 Bentuk pemberian bisa dalam permen karet, patch, nasal spray dan tablet sublingual. Adapun terapi lainnya berupa:

Tata laksana
Potensial risiko
Nicotine patch
Iritasi kulit
Nicotine polacrilex (nicotine gum)
Dispepsia
Nicotine nasal spray
Iritasi hidung dan mata
Nicotine inhaler
Iritasi tenggorokan
Zyban (bupropion hydrochloride)
Eating disorder
Tabel 2. Terapi Merokok.13



Referensi :
1.     Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophisiology. New York. Thieme: 2000
2.     World Health Organization (WHO). 2008. The global burden of disease: 2007 update. Geneva: World Health Organization.
3.     World Health Organization (WHO). 2009. World health statistics 2009. Geneva: World Health Organization.
4.     Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,  Fauci AS, Loscalizo J. Harrison’s principles of internal medicine. 18thed. New York: Mc-Graw Hill; 2012.
5.     Knoll T. Epidemiology, Pathogenesis, and Pathophysiology of hypertension. European Cardiac Supplements 9; 2010 pp. 802–806.
6.     Gupta R. 2005. Regression of coronary atherosclerosis induced by drugs, diet and lifestyle changes. Contemporary Medicine-1. New Delhi;2005 54-58.
7.     Taylor RS, Brown A, Ebrahim S.  Exercise-based rehabilitation for patients with coronary heart disease: systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Am J Med;2004 116: 682-692
8.     Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP (Eds). Braunwald’s Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th  ed, vol2, Philadelphia: WB Saunders Co; 2011
9.     Katzung BG, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. San Fransisco: Mc Graw Hill; 2006.
10. Lullmann H, Mohr K, Ziegler A, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 2nd ed. Stuttgart: Thieme; 2000.
11. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, ed. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. Chapter 21, Antihipertensi; 341-60.
12. Guillermo M, Cecilia R, Marta M, Graciela. New approaches in smoking treatment.CHD BY. September 2011 DOI: 10.5772/23221
13. Charif C, Cintia C, Vanessa R, Elisangela C. Factor assocaited with chronic smoking s in patients with presence and absence of heart disease.Scielo. June 2012. DOI 10.1590/S0102-67202012000200007

No comments:

Post a Comment

# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.

# Terima Kasih