Blog yang berisikan informasi seputar kesehatan dan dunia kedokteran .

Breaking

Sunday 8 December 2019

Terapi empiris Ensafilitis Toksoplasma

Blog Dokter Sobri
Hasil gambar untuk neuroaids
Terapi empiris ensafilitis toksoplasma

Terapi pada TE dapat dibagi menjadi terapi fase akut dan fase rumatan. Pada fase akut, dapat diberikan terapi lini pertama untuk ensefalitis toksoplasmosis pada pasien HIV yaitu kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Loading dose pirimetamin adalah 200 mg, lalu dilanjutkan dengan pemberian obat sebesar 60 mg untuk berat badan < 60 kg atau 75 mg untuk berat badan ≥ 60 kg. Penggunaan pirimetamin ini menguntungkan karena sifatnya yang dapat yang menembus parenkim otak biarpun tidak ada proses inflamasi yang berlangsung. Sedangkan dosis awal sulfadiazin adalah 1000 mg untuk pasien dengan berat badan < 60 kg atau 1500 mg untuk pasien dengan berat badan ≥ 60 kg yang diberikan per 6 jam dalam sehari. Kombinasi obat-obatan ini dapat mengganggu sintesis asam folat, maka dari itu perlu diberikan leukovorin (asam folinat) untuk menghindari terjadinya toksisitas hematologi (anemia, neutropenia). Leukovorin diberikan dalam dosis 10-25 mg per hari. Pemberian obat-obatan fase akut dapat diberikan dalam durasi minimum 3 hingga 6 minggu, namun durasi ini bisa lebih lama apabila kondisi klinis pasien atau hasil pemeriksaan radiologis masih menunjukkan tanda infeksi. Target terapi di fase akut adalah perbaikan kondisi klinis pasien beserta penemuan resolusi lesi yang dinilai dari ukurannya, enhancement kontras, edema) yang biasa terlihat pada 2-3 minggu setelah pemberian terapi.
Salah satu efek samping sulfadiazin yang sering ditemui dan berpengaruh pada komplians pasien adalah gatal-gatal pada kulit. Terapi alternatif yang direkemondasikan pada pasien yang tidak dapat menerima sulfadiazin atau tidak menunjukkan respons yang baik terhadap terapi lini pertama adalah kombinasi pirimetamin, klindamisin dan leukovorin. Terapi ini tidak dapat sekaligus menjadi profilaksis Pneumocyctisis jiroveci Pneumonia (PCP) pada pasien HIV, maka dapat ditambahkan aerosol pentamidine. Apabila pasien juga intoleran terhadap pirimetamin dan sulfadiazine, dapat digunakan atovaquone namun efikasinya belum diketahui hingga kini. Hal yang harus diperhatikan dalam pemberian atovaquone tunggal adalah absorpsinya yang bervariabel per individu dan harus disertai makanan atau suplemen nutrisi lainnya agar bisa mencapai kadar maksimal dalam darah
Sebelum pemberian obat-obatan, penting juga untuk menilai fungsi ginjal, hati serta fungsi hematologi untuk memastikan keamanan penggunaan terapi antimikrobial. Selama masa terapi, perlu dinilai apakah telah terjadi efek samping obat yang meliputi:
·         Pirimetamin: ruam, mual, supresi sumsum tulang (neutropenia, anemia, trombositopenia)
·         Sulfadizine: mual, muntah, demam, leukopenia, hepatitis, diare, dan kristaluria
·         Klindamisin: ruam, demam, mual, diare, pseudomembranous colitis
TMP-SMX: ruam, demam, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati

Regards
Blog Dokter Sobri

No comments:

Post a Comment

# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.

# Terima Kasih