Blog Dokter Sobri
Diagnosis Toksoplasma Ensafilitis
Diagnosis definitif Toxoplasma Encephalitis (TE) hanya
dapat dilakukan melalui biopsy terhadap jaringan otak yang terinfeksi, akan
tetapi tes diagnostik tersebut jarang dilakukan karena invasif dan memiliki
banyak komplikasi. Kombinasi dari pencitraan radiologi, polymerase chain reaction (PCR), dan tes serologi lebih sering
dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Setiap diagnosis tentunya diarahkan berdasarkan dari
pengumpulan data, pemeriksaan fisik dan penunjang yang meliputi:
a. Anamnesis
dan pemeriksaan fisik
Manifestasi klinis
yang sering ditemukan pads TE pada pasien dengan infeksi HIV adalah perubahan
status mental (62%), nyeri kepala (59%), demam (41%), yang berasosiasi dengan
deficit neurologik fokal. Gejala progresif akibat infeksi dapat bermanifestasi
menjadi confusion, kejang, hemiparesis, hemianopsia, aphasia, ataxia, dan
kelumpuhan pada saraf kranial. Kelemahan sistem motorik dan gangguan bicara dapat terlihat jika
penyakit sudah menjadi progresif. Jika tidak ditatalaksana dengan baik, pasien
dapat menjadi koma dalam hitungan hari hingga minggu. Organ mata dan paru
merupakan tempat predileksi infeksi extracerebral toxoplasmosis sehingga gejala
klinis dapat muncul dengan atau tanpa encephalitis.
Berdasarkan
manifestasi klinis yang umumya muncul, maka perlu digali keluhan utama yang
membawa pasien ke rumah sakit. Selain itu, perjalanan infeksi HIV dan status
imun pasien merupakan hal yang penting untuk diketahui dikarenakan infeksi
opportunistic merupakan infeksi yang timbul dalam kondisi status imun yang
rendah. Faktor lingkungan seperti pajanan faktor risiko (kucing sebagai
binatang peliharaan), pajanan infeksi opportunistik sebelumnya (TB paru) juga
perlu ditanyakan. Anamnesis juga dapat dilakukan secara alloanamnesis untuk
menilai apakah pasien memiliki perubahan status mental dan menilai bagaiaman
progresivitas gejala yang sudah terjadi.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan
untuk mengonfirmasi anamnesis dapat berupa pemeriksaan status generalis dan
neurologi secara komprehensif meliputi kesadaran, tanda rangsang meningeal,
pemeriksaan kognitif, pemeriksaan motorik dan sensorik.
b. Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksana
penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis TE adalah pemeriksaan
serologi, pencitraan, dan analisis cairan serebrospinal.
Serologi
Negara berkembang seperti Indonesia
memiliki angka seroprevalensi toxoplasma yang tinggi sehingga aplikasi
pemeriksaan serologi toksoplasma hanya untuk mengetahui adanya infeksi laten
toksoplasma pada pasien. Peak titer serum IgG antitoxoplasma muncul antara 1
dan bulan setelah infeksi primer dan biasanya dapat terus dideteksi seumur
hidup. Umumnya, serum assay tidak dapat digunakan untuk tinjauan diagnostic
dari toxoplasma akut, karena nilai ini tidak dapat membedakan infeksi aktif
atau laten. Namun, jika diketahui baseline dari IgG antitoxoplasma, maka
pningkatan dari level IgG dan diiringi dengan gejala maka dapat menjadi
indikasi dari reaktivasi infeksi Toxoplasma. hasil negative serologi IgG tidak
dapat mengeksklusi infeksi toxoplasma secara definitive. False negative dapat
terjadi pada pasien dengan infeksi baru atau assay yang insensitif.
IgM antitoxoplasma antibody biasanya
hilang dalam hitungan minggu hingga bulan setelah infeksi primer namun dapat
tetap terdeteksi kurang lebih dalam setahun. Akan tetapi peningkatan IgM tidak
selalu disertai dengan infeksi baru, sehingga antibody IgM tidak umum
digunakan, kecuali untuk pemeriksaan wanita hamil yang diduga terinfeksi
Toxoplasma.
Imaging
/ pencitraan
Pilihan pencitraan yang diindikasikan
pada pasien HIV dengan kecurigaan TE adalah CT scan atau MRI dengan Kontras.
Gambaran radiologi yang muncul biasanya adalah lesi multiple pada region
korteks serebral, corticomedullary junction, atau basal ganglia, walaupun lesi
tunggal juga dapat ditemukan. Gambaran khas pada toxoplasmosis serebral adalah
adanya assymettric target sigm. yang menggambarkan abses menyengat kontras
berbentuk cincin yang dapat tervisualisasi dengan MRI atau CT scan.
CT scan nonkontras
yang tampak hanyalah lesi hipodens atau edema yang dapat menyerupai lesi fokal
otak lainnya. Pada MRI sekens T1, dapat terlihat adanya lesi hipointens yang
berubah menjadi hiperintens pada sekuens T2. MRI merupakan modalitas yang dapat
digunakan untuk diagnosis sekaligus monitor respons terapi karena MRI lebih
sensitive daripada CT untuk mendeteksi lesi multiple.
Regards
Blog Dokter Sobri
No comments:
Post a Comment
# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.
# Terima Kasih