Blog yang berisikan informasi seputar kesehatan dan dunia kedokteran .

Breaking

Tuesday 5 March 2019

Komplikasi Fraktur

Blog Dokter Sobri

Komplikasi Fraktur

Komplikasi  lokal fraktur
1. Early complication
Komplikasi yang muncul dalam beberapa hari atau minggu setelah fraktur terjadi, yang mencakup:

a) Visceral injury
Fraktur pada costae dapat memicu terjadinya penumotoraks. Fraktur pada pelvis dapat menyebabkan ruptur vesica urinaria atau uretra. Kondisi tersebut membutuhkan tatalaksana segera.

b) Vascular injury (cedera pembuluh darah) 
Fraktur dapat menyebabkan cedera pembuluh darah baik dalam bentuk robekan, kompresi maupun kontusi. Dapat pula terjadi kondisi lepasnya tunika intima atau pembentukan trombus pada pembuluh darah atau terjadi spasme pada segmen dari arteri. Kondisi-kondisi tersebut dapat menyebabkan penurunan aliran darah secara transien hingga menyebabkan iskemia, kerusakan jaringan, dan gangren perifer.

Fitur klinis pada kondisi vascular injury mencakup di antaranya parastesia pada ujung jari kaki maupun tangan, akral dingin, sianosis pada akral, pulsasi rendah atau menghilang. Jika dicurigai terjadi vascular injury maka perlu dilakukan angiografi secara segera dan apabila terbukti terdapat vascular injury maka perlu dilakukan tatalaksana segera. Tatalaksana awal pada vascular injury adalah pembebasan fraktur dari splint atau benda lainnya yang mengkompresi daerah fraktur. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan X-ray untuk menentukan ada/tidaknya vascular injury. Jika terbukti terdapat vascular injury maka perlu dilakukan reduksi yang kemudian dilanjutkan dengan re-assessment secara berkala. Jika tidak terdapat perbaikan maka perlu dilakukan eksplorasi menggunakan angiografi. Pembuluh darah yang mengalami kerusakan ditatalaksana dengan jahitan langsung atau menggunakan graft. Jika terdapat trombosis maka dilakukan endarterectomy.

c) Nerve injury (cedera saraf)
Nerve injury sering terjadi pada fraktur humerus atau cedera di sekitar siku atau lutut. Cedera yang terjadi dapat berupa cedera saraf terbuka, cedera saraf tertutup, maupun kompresi saraf akut. Cedera saraf terbuka lebih memungkinkan terjadi pada fraktur terbuka. Pada kondisi tersebut perlu dilakukan eksplorasi saraf saat debridement yang dilanjutkan dengan perbaikan saraf. Cedera saraf tertutup umumnya dapat mengalami perbaikan spontan. Eksplorasi saraf pada cedera saraf tertutup dilakukan jika dalam waktu penyembuhan yang diperkirakan saraf masih belum mengalami perbaikan. Kompresi saraf dicirikan oleh paresthesia atau rasa baal pada daerah yang dipersarafi. Jika dalam 48 jam tidak terdapat perbaikan maka perlu dilakukan eksplorasi dan dekompresi.

d) Sindrom kompartemen
Peradarahan, edema, atau inflamasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam kompartemen osseofascia yang menyebabkan penurunan aliran darah kapiler sehingga memicu kondisi iskemia, edema lebih lanjut yang berlangsung terus-menerus. Kondisi tersebut kemudian dapat menyebabkan nekrosis saraf dan otot dalam kompartemen. Otot yang rusak tidak dapat mengalami regenerasi dan akan digantikan dengan jaringan fibrosa inelastik (Volkmann’s ischaemic contracture) sementara saraf dapat mengalami regenerasi. Kondisi cedera yang berisiko tinggi menimbulkan sindrom kompartemen mencakup fraktur pada siku, humerus, sepertiga proksimal tibia, fraktur pada regio manus dan pedis, cedera tumbukan, circumferential burns. Operasi atau infeksi menjadi faktor yang mempresipitasi terjadinya sindrom kompartemen. Pasien dengan sindrom kompartemen menunjukkan tanda-tanda iskemia, yang mencakup nyeri, paresthesia, paralisis, pucat, serta tidak terabanya pulsasi (pulselessness). Tanda lainnya adalah nyeri pada otot yang diekstensikan secara pasif karena peningkatan sensitivitas otot yang mengalami iskemia terhadap regangan. Dekompresi harus dilakukan pada kondisi sindrom kompartemen. Seluruh bidai, verban, dan casts harus dilepaskan. Selisih tekanan diantara tekanan diastolik dan tekanan kompartemen perlu dimonitor secara berkala. Apabila selisih keduanya berada di bawah 30mmHg maka perlu dilakukan open fasciotomy segera.

e) Haemarthrosis
Fraktur yang melibatkan sendi dapat memicu haemarthrosis akut. Kondisi tersebut ditandai oleh pembengkakan sendi yang disertai rasa nyeri dan pasien enggan untuk menggerakkan sendi tersebut. Darah yang terkumpul perlu untuk diaspirasi.

f) Infeksi
Infeksi lebih sering terjadi pada fraktur terbuka dibandingkan fraktur tertutup.

g) Gas gangrene
Infeksi Clostridium sp. dapat terjadi pada luka yang tidak didebridement dengan baik. Toksin yang diproduksi oleh Clostridium sp. tersebut dapat merusak sel dan memicu nekrosis. Infeksi ditandai oleh nyeri hebat, pembengkakan di sekitar luka, duh kecoklatan, denyut nadi meningkat, serta bau. Setelah itu pasien dapat mengalami kondisi koma, dan mortal.

Pasien yang mengalami gas gangrene dapat mengalami mioneknosis. Tatalaksana yang dilakukan mencakup terapi cairan, antibiotik intravena, dekompresi dan debridement.

h) Fracture blisters
Blister yang terbentuk dapat berupa vesikel yang berisi cairan serosa ataupun mengandung darah. Kedua jenis lesi tersebut terjadi karena elevasi lapisan epidermis dari dermis.

i) Plaster and pressure sores
Plaster sore terjadi karena penekanan kulit langsung ke tulang. Kondisi tersebut dapat dihindari dengan cara memberi padding ujung tulang dan dibalut menggunakan plaster basah sehingga tekanan dapat didistribusikan ke jaringan lunak di sekitar ujung tulang. Pasien dapat mengeluhkan rasa nyeri terbakar yang terlokalisasi.1 

2. Late complication
a) Delayed union
Delayed union merupakan kondisi keterlambatan penyembuhan fraktur. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh faktor biologis, biomekanik, atau faktor yang terkait pasien.
a. Faktor biologis
Faktor biologis mencakup suplai aliran darah yang tidak adekuat, kerusakan jaringan lunak yang berat, serta periosteal stripping. 
1) Suplai aliran darah yang tidak adekuat
Fraktur tulang panjang dapat menyebabkan robekan periosteum sehingga memicu gangguan aliran darah intrameduler. Ujung fraktur kemudian dapat mengalami nekrosis.  Kondisi tersebut menghambat terjadinya penyembuhan fraktur.
2) Kerusakan jaringan lunak yang berat
Kerusakan jaringan lunak dapat mempengaruhi proses penyembuhan fraktur melalui beberapa mekanisme, yang mencakup penurunan efektivitas splint, kerusakan aliran darah lokal, serta penurunan hingga hilangnya input osteogenik dari sel punca mesenkim pada otot.
b. Faktor biomekanik
Faktor biomekanik mencakup imperfect splintage, fiksasi yang terlalu kaku, serta infeksi.
1) Imperfect splintage
Traksi berlebihan yang menyebabkan terbantuknya fracture gap atau terlalu banyaknya gerakan yang dilakukan pada situs fraktur dapat menyebabkan keterlambatan osifikasi pada callus.
2) Fiksasi yang terlalu kaku
Fiksasi yang terlalu kaku menyebabkan tulang seolah-olah menyatu namun proses penyembuhan justru terjadi lebih lambat.
3) Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan perubahan kondisi implan yang digunakan untuk mempertahankan kondisi fraktur menjadi longgar
c. Faktor terkait pasien  
Faktor terkait pasien mencakup immense, immoderate, immovable, dan impossible.

Delayed union dicirikan oleh adanya nyeri tekan pada fraktur yang persisten dan apabila tulang terpapar stress dapat terjadi nyeri akut. Pada X-ray dapat dilihat gambaran garis fraktur yang persisten, pembentukan callus yang inkomplit atau reaksi periosteum. Akan tetapi, pada delayed union tidak terdapat gambaran sklerosis atau atrofi ujung-ujung tulang. Gambaran tersebut mengindikasikan masih terdapatnya kemungkinan fraktur mengalami penyembuhan.

Tatalaksana dapat berupa tatalaksana konservatif dan operatif. Tatalaksana konservatif dilakukan dengan cara menghilangkan penyebab delayed union dan memicu penyembuhan fraktur melalui lingkungan yang sesuai untuk penyembuhan. Imobilisasi yang disertai dengan muscular exercise dan penggunaan beban pada cast atau brace dapat dilakukan untuk membantu penyembuhan fraktur. Tatalaksana operasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan apabila dalam waktu lebih dari 6 bulan penyembuhan fraktur masih belum terjadi dan tidak ditemukan adanya tanda pembentukan callus. Tatalaksana yang dapat diberikan berupa fiksasi internal dan bone grafting.

b) Non-union
Pada kondisi non-union ditemukan gambaran fraktur yang persisten, callus yang berlimpah atau atrofi. Pada hypertrophic non-union terjadi pembesaran ujung-ujung tulang yang menandakan adanya proses osteogenesis yang aktif namun tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk penyembuhan tulang yang sempurna. Sementara itu, pada atrophic non-union tidak terjadi osteogenesis. Ujung-ujung tulang tidak menunjukkan tanda pembentukan tulang baru.  
Kondisi non-union dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terkait tatalaksana fraktur, yaitu kontak yang insufisien diantara fragmen fraktur, fraktur yang tidak direduksi secara adekuat, stabilitas yang tidak baik, serta stimulasi yang kurang adekuat. Selain itu, kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh keadaan jaringan lunak yang buruk, penggunaan obat-obatan, serta kondisi pasien yang non-komplians.

Tatalaksana non-union mencakup terapi konservatif maupun operasi. Tatalaksana konservatif dapat dilakukan dengan menggunakan bracing, splint, maupun pulsed ultrasound. Sementara itu, tatalaksana operasi dilakukan pada atrophic non-union dengan cara mengeksisi ujung tulang yang mengalami sklerosis dan jaringan fibrosa pada fracture gap. 

c) Malunion
Kondisi fragmen-fragmen fraktur bersatu dalam posisi yang tidak seharusnya karena mengalami angulasi, rotasi, atau shortening. Kondisi tersebut dapat terjadi karena reduksi yang kurang adekuat, kegagalan untuk mempertahankan reduksi selama proses penyembuhan atau kerusakan bertahap dari tulang yang mengalami osteoporosis. Melalui pemeriksaan X-ray dapat tampak deformitas yang terjadi. Tatalaksana yang dilakukan mencakup reduksi fraktur mendekati posisi anatomis.

d) Nekrosis avaskular
Daerah yang rentan mengalami nekrosis tulang setelah cedera mencakup diantaranya caput femur, scaphoid bagian proksimal, os. lunatum, serta corpus talus. Tidak terdapat gejala yang dapat diamati pada kondisi nekrosis avaskular namun pemeriksaan X-ray dapat menunjukkan adanya peningkatan densitas pada daerah yang mengalami nekrosis. Tatalaksana dilakukan apabila fungsi sendi terganggu. Pada pasien lanjut usia dapat dilakukan arthroplasty sementara pada pasien dengan usia yang lebih muda dapat dilakukan osteotomi.

e) Gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan dapat terjadi pada anak anak yang mengalami kerusakan pada epifisis tulang.

f) Bed sores
Kondisi bed sores dapat terjadi pada pasien lanjut usia atau pasien yang mengalami paralisis. Daerah yang berisiko menjadi lokasi bed sores mencakup sacrum dan calcaneus.  


g) Myositis ossificans
Merupakan kondisi osifikasi pada otot pasca cedera yang ditandai dengan nyeri, edema lokal, dan nyeri tekan pada jaringan lunak. Pada pemeriksaan bone scan dapat ditemukan adanya peningkatan aktivitas. Setelah 2-3 minggu nyeri secara bertahap dapat berkurang namun pergerakan sendi terbatas. Dalam kondisi tersebut pemeriksaan X-ray dapat menunjukkan adanya kalsifikasi pada jaringan lunak. Pada minggu ke-8 massa tulang umumnya dapat dipalpasi dan nampak jelas pada pemeriksaan X-ray. Tatalaksana adalah dengan mengistirahatkan sendi hingga nyeri menghilang kemudian pasien diberikan latihan gerakan aktif ringan secara berkala. Untuk mencegah rekurensi pasien diberikan indometasin dan radioterapi.

h) Lesi tendon
Tendinitis maupun kerobekan tendon dapat menyertai fraktur. Kondisi tendinitis dapat dicegah dengan melakukan reduksi yang sesuai.

i) Kompresi saraf
Kompresi saraf dapat menyebabkan kerusakan n. poplitea lateral pada pasien lanjut usia atau pasien yang memiliki tubuh kurus berada dalam posisi kaki mengalami rotasi eksterna total. Kompresi saraf dicirikan oleh rasa baal atau parastesia, hilangnya kekuatan dan muscle wasting pada daerah yang diinervasi oleh saraf yang mengalami gangguan tersebut. Kompresi saraf umumnya terjadi pada nervus ulnaris, nervus medianus, serta nervus tibialis posterior. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan dekompresi saraf.   

j) Muscle contracture
Setelah cedera arteri atau sindrom kompartemen terjadi dapat terjadi muscle contracture. Os. humerus, manus, os. femoral dan regio pedis merupakan situs yang rentan mengalami kondisi tersebut.

k) Instabilitas sendi
Instabilitas sendi dapat terjadi karena adanya kelemahan ligamen, kelemahan otot, dan bone loss. Kelemahan ligamen berisiko terjadi pada genu, malleolus, dan sendi metacarphophalangeal. Kelemahan otot dapat terjadi jika splint dipakai dalam jangka waktu terlalu lama atau exercise yang tidak adekuat. Sementara itu, bone loss biasanya terjadi setelah gunshot fracture, cedera campuran berat atau fraktur depresi sendi.

l) Kaku sendi
Kaku sendi pasca fraktur umumnya terjadi pada regio genu, cubiti, deltoidea dan manus. Cedera pada sendi dapat menyebabkan adesi sinovium akibat hemartrosis. Selain itu, edema dan fibrosis kapsul, ligamen serta otot di sekitar sendi atau adesi jaringan lunak juga dapat memicu terjadinya kaku sendi. Imobilisasi dalam jangka waktu lama dapat memperberat kondisi tersebut. Untuk mencegah kaku sendi dapat dilakukan exercise.

m) Complex regional pain syndrome (algodystrophy)
Algodystrophy dicirikan oleh keluhan nyeri terus-menerus dengan sensasi seperti terbakar disertai dengan edema lokal, eritema, hangat pada daerah yang mengalami gangguan, nyeri tekan, serta kaku pada sendi sekitar. Pada minggu selanjutnya kulit pasien menjadi pucat dan mengalami atrofi, pergerakan terbatas dan deformitas menjadi menetap. Pada pemeriksaan X-ray dapat ditemukan gambaran penurunan densitas tulang pada beberapa area.

n) Osteoarthritis
Fraktur yang melibatkan sendi dapat menyebabkan kerusakan kartilago sendi sehingga memicu osteoartritis post-trauma dalam waktu beberapa bulan. Setelah kartilago mengalami penyembuhan sendi masih berada dalam kondisi ireguler sehingga masih terdapat risiko terjadi osteoarthritis kembali.1 
  
Komplikasi umum fraktur
1. Perdarahan
2. Syok
Syok dapat dikenali melalui tanda-tanda yang mencakup perubahan tekanan darah, denyut nadi, perfusi perifer, suara jantung, laju nafas, dan saturasi oksigen, usaha bernafas, deviasi trakea, adanya suara nafas tambahan, nyeri abdomen, distensi abdomen, tanda-tanda peritonitis, perubahan tingkat kesadaran, maupun tanda neurologi perifer.
3. Emboli lemak
Emboli lemak lebih sering terjadi pada pasien dengan fraktur multipel. Emboli lemak ditandai oleh peningkatan suhu dan denyut nadi pasien. Pada kondisi yang lebih berat dapat terjadi sesak, mild mental confusion maupun restlessness. Tanda patognomonik emboli lemak adalah peteki pada batang tubuh, aksilla, retina dan lipatan konjungtiva.
4. Gagal kardiovaskular
5. Tetanus
Tetanus ditandai dengan kontraksi tonik yang kemudian menjadi klonik.1 

Penyembuhan fraktur (fracture healing)
Penyembuhan fraktur dipengaruhi oleh berbagai faktor yang merupakan anggota superfamili TGF-b  yang mencakup diantaranya insulin-like growth (IGF), platelet-derived growth factor (PDGF), serta bone morphogenetic protein (BMPs).2 Terdapat dua mekanisme penyembuhan fraktur yaitu melalui pembentukan callus dan melalui direct union.

Healing by callus
Proses penyembuhan melalui peranan callus terjadi dalam lima tahap, yaitu:
1) Kerusakan jaringan dan pembentukan hematom di sekitar dan pada situs fraktur
2) Inflamasi dan proliferasi seluler dalam waktu 8 jam setelah fraktur pertama kali terjadi. Pada tahap ini terjadi migrasi sel-sel inflamatorik, inisiasi proliferasi dan diferensiasi sel punca mesenkim periosteum dan otot di sekitar tulang yang mengalami fraktur. Mediator inflamasi diproduksi pada lokasi tersebut. Hematom yang sebelumnya terbentuk diabsorbsi secara berkala seiring terjadinya pertumbuhan kapiler baru pada daerah tersebut
3) Pembentukan callus 
Sel punca yang mengalami diferensiasi membentuk populasi sel kondrogenik dan populasi sel osteogenik. Pada tahap selanjutnya terbentuk osteoklas yang meresorpsi tulang yang mengalami kerusakan. Kumpulan sel-sel tersebut bersama dengan tulang dan kartilago immatur membentuk callus pada permukaan periosteum dan endosteum. Serat tulang immatur (woven bone) berubah menjadi lebih padat. Dalam waktu 4 minggu setelah cedera fraktur kembali menyatu (mengalami penyembuhan).
4) Konsolidasi
Aktivitas osteoblast dan osteoklas menyebabkan woven bone berubah menjadi lamellar bone. Osteoblast mengisi rongga diantara tulang yang mengalami fraktur.
5) Remodelling
Pembentukan dan resorpsi tulang terjadi secara berulang

Healing by direct union
Penyembuhan melalui mekanisme direct union terjadi pada fragmen tulang yang immobile sehingga tidak terdapat stimulus untuk pembentukan callus. Proses yang terjadi adalah pembentukan tulang baru diantara fragmen tulang secara langsung yang melibatkan peran sel-sel osteoprogenitor dari ujung-ujung tulang yang mengalami kerusakan. Apabila ruang diantara tulang <200mm maka proses osteogenesis akan menghasilkan tulang lamellar sementara apabila ruang diantara tulang lebih dari ukuran tersebut maka proses osteogenesis akan menghasilkan woven bone terlebih dahulu yang kemudian mengalami remodelisasi menjadi lamellar bone. Dalam waktu 3-4 minggu kemudian fraktur mengalami remodelling melalui aktivitas osteoblast dan osteoklas.2 




Referensi
1. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9th ed. Hodder A; 2010. p673-82; p711-24.
2. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. 3rd ed. 1999. p425-7.


Regards
Blog Dokter Sobri

No comments:

Post a Comment

# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.

# Terima Kasih