Blog Dokter Sobri
Pengobatan Skizofrenia
Tatalaksana
medis umum menyangkut maag
perlu ditatalaksana dengan pengontrolan yang baik. Hal tersebut bertujuan untuk
tidak menjadi faktor predisposisi untuk pasien.
Psikoterapi merupakan pilihan utama
dalam menangani kasus skizofrenia
paranoid. Psikoterapi yang dapat dilakukan antara lain psikoedukasi, psikoterapi kognitif, psikoterapi suportif, dan konseling. Hal tersebut didasarkan atas hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
penyesuaian.
Pasien
dengan gangguan skizofrenia paranoid memiliki krisis kehidupan. Pandangan pasien terhadap krisis kehidupan
tersebut dapat dipengaruhi melalui psikoterapi suportif, psikoterapi kognitif, dan psikoedukasi. Selain itu, pada
pasien terdapat respons yang maladaptif terhadap krisis kehidupan yang ada. Respons yang maladaptif tersebut
dapat diperbaiki dengan
melakukan psikoterapi.4
Dalam
psikoterapi, tujuan yang ingin diharapkan adalah
memodifikasi
atau
menghilangkan stressor yang ada, memfasilitasi adaptasi terhadap stressor, dan
membantu pasien memanipulasi lingkungan
bila diperlukan.
Tatalaksana farmakologi untuk skizofrenia berupa obat psikotik. Obat ini dibagi menjadi
dua kelompok berdasarkan dengan mekanisme kerja obat tersebut. Obat
antipsikotik terdiri dari dopamine
receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I (APG I) atau
Tipikal/Konvensional, golongan obat lainnya yaitu serotonine – dopamine receptor
antagonist (SDA) atau atipsikotika generasi II (APG II)
atau atipikal. APG I merupakan antagonis respetor dopamin (D2) di berbagai area
di otak. Afinitas obat ini pada reseptor D2 di nigostriatal lebih tinggi
dibandingkan di mesolimbik, serta obat ini berguna untuk mengontrol gejala
positif. APG I memiliki banyak efek samping yang merugikan sebagai akibat dari
penghambatan dopamin di mesokortex (menurunkan kognitif), nigostriatal (sindrom
ekstrapiramidal), tuberoinfundibular (hiperprolaktinemia). Berikut merupakan
beberapa efek samping gejala ekstrapiramidal yaitu parkinsonisme, distonia akut
dan akatisia.
APG II merupakan antagonis reseptor dopamin dan
serotonin, serta memiliki afinitas pada reseptor D2 di mesolimbik lebih tinggi
dibandingkan di nigostriatal. Obat APG II bermanfaat baik untuk gejala positif
dan negatif (efektivitas untuk mengurangi gejala positif sama dengan APG 1,
namun lebih efektif untuk mengurangi gejala negatif). APG II memiliki efek
samping yang lebih rendah dibanding APG I karena aktivitas ke nigostriatal dan
tuberoinfundibular tidak begitu tinggi. Ada beberapa jenis APG II yang ada di
Indonesia yaitu risperidon, clozapin, olanzapin, quetiapin, dan aripiprazol.
Meskipun efek samping sindrom lebih rendah daripada APG I, golongan APG II
memiliki efek samping sindrom metabolik yang lebih tinggi seperti toleransi
glukosa, kenaikan berat badan, abnormalitas lipid dan lain-lain
Regards
Blog Dokter Sobri
No comments:
Post a Comment
# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.
# Terima Kasih