Blog yang berisikan informasi seputar kesehatan dan dunia kedokteran .

Breaking

Sunday, 20 October 2019

Pengobatan skizofrenia

Blog Dokter Sobri

Pengobatan Skizofrenia

Tatalaksana medis umum menyangkut maag perlu ditatalaksana dengan pengontrolan yang baik. Hal tersebut bertujuan untuk tidak menjadi faktor predisposisi untuk pasien.
Psikoterapi merupakan pilihan utama dalam menangani kasus skizofrenia paranoid. Psikoterapi yang dapat dilakukan antara lain psikoedukasi, psikoterapi kognitif, psikoterapi suportif, dan konseling. Hal tersebut didasarkan atas hal yang menyebabkan terjadinya gangguan penyesuaian. Pasien dengan gangguan skizofrenia paranoid memiliki krisis kehidupan. Pandangan pasien terhadap krisis kehidupan tersebut dapat dipengaruhi melalui psikoterapi suportif, psikoterapi kognitif, dan psikoedukasi. Selain itu, pada pasien terdapat respons yang maladaptif terhadap krisis kehidupan yang ada. Respons yang maladaptif tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan psikoterapi.4
Dalam   psikoterapi,   tujua yang   ingi diharapka adalah   memodifikasi   atau menghilangkan stressor yang ada, memfasilitasi adaptasi terhadap stressor, dan membantu pasien memanipulasi lingkungan bila diperlukan.
Tatalaksana farmakologi untuk skizofrenia  berupa obat psikotik. Obat ini dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan dengan mekanisme kerja obat tersebut. Obat antipsikotik terdiri dari dopamine receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I (APG I) atau Tipikal/Konvensional, golongan obat lainnya yaitu serotonine – dopamine receptor antagonist  (SDA) atau atipsikotika generasi II (APG II) atau atipikal. APG I merupakan antagonis respetor dopamin (D2) di berbagai area di otak. Afinitas obat ini pada reseptor D2 di nigostriatal lebih tinggi dibandingkan di mesolimbik, serta obat ini berguna untuk mengontrol gejala positif. APG I memiliki banyak efek samping yang merugikan sebagai akibat dari penghambatan dopamin di mesokortex (menurunkan kognitif), nigostriatal (sindrom ekstrapiramidal), tuberoinfundibular (hiperprolaktinemia). Berikut merupakan beberapa efek samping gejala ekstrapiramidal yaitu parkinsonisme, distonia akut dan akatisia.
APG II merupakan antagonis reseptor dopamin dan serotonin, serta memiliki afinitas pada reseptor D2 di mesolimbik lebih tinggi dibandingkan di nigostriatal. Obat APG II bermanfaat baik untuk gejala positif dan negatif (efektivitas untuk mengurangi gejala positif sama dengan APG 1, namun lebih efektif untuk mengurangi gejala negatif). APG II memiliki efek samping yang lebih rendah dibanding APG I karena aktivitas ke nigostriatal dan tuberoinfundibular tidak begitu tinggi. Ada beberapa jenis APG II yang ada di Indonesia yaitu risperidon, clozapin, olanzapin, quetiapin, dan aripiprazol. Meskipun efek samping sindrom lebih rendah daripada APG I, golongan APG II memiliki efek samping sindrom metabolik yang lebih tinggi seperti toleransi glukosa, kenaikan berat badan, abnormalitas lipid dan lain-lain

Regards
Blog Dokter Sobri

No comments:

Post a Comment

# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.

# Terima Kasih