Blog yang berisikan informasi seputar kesehatan dan dunia kedokteran .

Breaking

Thursday 20 September 2018

Letargi dan Demam Tifoid

Blog Dokter Sobri

Letargi dan Demam Tifoid

2. Letargi
Letargi adalah suatu gejala yang menggambarkan kondisi seseorang individu yang lambat dalam hal melakukan kegiatan motorik maupun proses mengolah informasi, namun memiliki orientasi tempat, waktu dan orang yang masih bisa merespon terhadap rangsang nyeri.1 Letargi merupakan salah satu jenis dari tingkat kesadaran yang dinilai secara kualitatif.2
Kesadaran sendiri merupakan sebuah keadaan tanggap terhadap diri sendiri maupun lingkungan secara spontan. Kesadaran memiliki dua komponen yaitu komponen bangun (wakefulness) dan tanggap (awareness). Kesadaran diatur oleh formatio reticularis. Formatio reticularis terletak di batang otak, membentang dari medulla oblongata hingga otak tengah. Formatio reticularis memiliki hubungan dengan subtalamus, hipotalamus dan talamus secara langsung. Stimulus dari formatio reticularis akan diterima oleh hipotalamus untuk menjaga homeostasis tubuh. Jaras formatio reticularis berproyeksi ke sistem saraf otonom dan motorik. Impuls yang akan diterima oleh formatio reticularis ditransmisikan ke seluruh bagian korteks serebri. Impuls tersebut akan mengaktivasi sistem limbik sehingga hal ini yang menyebabkan seseorang merespon stimulus suara atau nyeri. Apabila ada gangguan dalam transmisi sinyal formatio reticularis, yang terjadi adalah penurunan kesadaran.1
Tingkat kesadaran dapat di nilai secara kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa klasifikasi kesadaran yang dinilai secara kualitatif adalah:2
Compos mentis : Suatu keadaan sadar penuh, memiliki orientasi yang baik (orientasi waktu, orang dan tempat) dan dapat mengenali identitas diri.
Apatis :  Sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, tidak mau berhubungan dengan lingkungan sekitar.
Delirium :  Suatu keadaan disorientasi, tidak tenang, gelisah dan dapat mengalami halusinasi atau delusi.
Somnolen / letargi : Keadaan kesadaran yang menurun dengan perlambatan psikomotor dan cenderung mudah tertidur. Kesadaran bisa kembali dengan pemberian rangsang namun tertidur lagi bila rangsang dihentikan.
Stupor / sopor : Keadaan tertidur yang lebih dalam. Respon terhadap rangsang nyeri masih ada
Koma :  Keadaan tidak respon terhadap rangsangan apapun, termasuk nyeri.

Secara kuantitatif, kesadaran dapat diukur dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Komponen penilaian kesadaran pada GCS ada tiga yaitu Eye, Motoric dan Verbal. Secara umum, penilaian GCS pada pasien anak hampir sama dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi anak.3

Tabel 1. Komponen penilaian GCS (Eye & Motoric).3
Komponen
Nilai
> 1 tahun
< 1 tahun
Eye
4
3
2
1
Spontan
Terhadap perintah verbal
Terhadap nyeri
Tidak ada
Spontan
Terhadap perintah verbal
Terhadap nyeri
Tidak ada
Motorik
6
5
4
3
2
1
Mengikuti perintah
Lokalisasi nyeri
Menghindar dari nyeri
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada respon
Gerak spontan
Lokalisasi nyeri
Menghindar dari nyeri
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada respon




Tabel 2. Komponen penilaian GCS (Verbal).3
Komponen
Nilai
> 5 tahun
2-5 tahun
0-2 tahun
Verbal
5

4

3

2


1
Orientasi baik

Disorientasi

Kata-kata tidak tepat

Suara tidak dimengerti


Tidak ada respon
Orientasi baik, jarang menangis
Kata-kata tidak tepat

Berteriak / menangis

Berteriak / menangis
Tidak bisa ditenangkan

Tidak ada respon
Orientasi baik, jarang menangis
Menangis bisa ditenangkan
Menangis kadang bisa ditenangkan
Menangis tidak bisa ditenangkan

Tidak ada respon

2. 2 Pendekatan Klinis Letargi
Ketika dihadapi dengan pasien yang mengalami penurunan kesadaran, seorang petugas medis dalam hal ini dokter, perlu melakukan primary survey untuk menstabilkan kondisi pasien. Setelah pasien stabil, perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang terarah agar bisa menentukan etiologi dari penurunan kesadaran yang dialami oleh pasien.1
Dari anamnesis, perlu digali dan di explore riwayat penyakit yang penting seperti riwayat trauma kepala, sakit kepala hebat sampai tidak sadarkan diri (mengarah ke ruptur malformasi arteri-vena), panas tinggi diikuti dengan kejang (meningitis atau ensefalitis), muntah berat secara tiba-tiba sampai tidak sadar (Sindrom Reye), malas makan diikuti dengan kesadaran menurun perlahan (ensefalopati metabolik atau Demam Tifoid), diabetes (penurunan kesadaran akibat ketoasidosis), epilepsi atau kejang terus menerus lebih dari 30 menit (status konvulsi) dan penyakit jantung bawaan (mengarah ke abses maupun infark serebri). 1,4,5


Dari pemeriksaan fisis, terdapat beberapa komponen utama yang perlu diperiksa yaitu:1,5,6
Kesadaran : Menggunakan GCS, sebagaimana telah diuraikan dibagian sebelumnya.
Tanda vital : Tekanan darah, denyut nadi, suhu (untuk mendeskripsikan demam), dan pernapasan. Untuk komponen pernapasan, perlu diperhatikan terutama pola pernapasannya. Pada dasarnya, pola napas normal dikontrol oleh batang otak (mengatur keingingan untuk bernapas) dan korteks (mengatur irama napas). Ada beberapa jenis pola pernapasan yang perlu di amati yaitu:
Cheyne stokes :   pola napas apneu yang disertai dengan hiperpneu. Pola napas ini menunjukkan adanya gangguan serebral bilateral, gangguan metabolik atau risiko herniasi.
Hiperventilasi : pola napas yang cepat. Biasanya menunjukkan adanya tanda asidosis metabolik, hipoksia, keracunan (amfetamin / kokain), atau edema paru neurogenik.
Apneuristik :  berhentinya inspirasi, menunjukkan kelainan di bagian medulla atau pons.
Ataksik :  pola napas yang tidak beraturan, menunjukkan adanya kelainan di medula.
Hipoventilasi : pola napas yang melambat. Biasa diakibatkan pasien mengonsumsi narkotik, alkohol ataupun obat sedatif lainnya. Pola pernapasan ini menunjukkan kelainan di ARAS.

Pemeriksaan fisis neurologis
Saraf Kranial
N I (n. Olfaktorius) : hanya dilakukan pada anak-anak yagn sudah mengenal bau beberapa macam benda / makanan yang lazim ditemui. Pada bayi, tidak perlu dilakukan.
N II (n. Optikus) : dilakukan pemeriksaan, tajam penglihatan dengan menggunakan snellen / E-chart atau finger counting test. Pada bayi, bisa dilakukan fisasi terhadap cahaya atau objek. Selain itu, perlu dilakukan penilaian terhadap refleks cahaya langsung dan tidak langsung pada kedua mata. Ukuran pupil juga perlu dilihat. Apabila terjadi :
Dilatasi satu pupil : lesi di otak bagian ipsilateral, tumor, risiko herniasi, paska kejang atau lesi di N. III
Dilatasi dua pupil : paska kejang, hipotermia, hipoksia, ensefalitis, atau syok hemoragik.
Konstriksi pupil menetap : kelainan di pons dan metabolik.
Konstriksi pupil reaktif : kelainan di medulla dan metabolik.
N. III (n. Okulomotor), IV (troklearis) dan VI (abdusens) : dilakukan pemeriksaan akomodasi-konvergensi dan gerakan bola mata ke sisi medial, lateral, superior, inferior, superomedial, superolateral, inferomedial dan inferolateral. Pada anak-anak, dapat dilakukan pemeriksaan Doll’s eye movement (bila positif, kemungkinan ada gangguan di ARAS).
N. V (n. Trigerminus) : melakukan pemeriksaan respon sensoris dari wajah. Pada bayi dan anak-anak yang tidak kooperatif sulit dilakukan.
N. VII (n. Fasialis) :mempersarafi otot wajah. Perlu diperhatikan simetrisitas wajah, dibagian dahi, alis dan nasolabial.
N. VII (n.Vestibulokoklear): dilakukan uji keseimbangan (Romberg), nystagmus untuk menilai n. Vestibularis dan dilakukan pemeriksaan tajam pendengaran untuk memeriksa n. Koklearis. Pemeriksaan tajam pendengaran pada anak-anak / bayi dapat dilakukan dengan mendengarkan bunyi arloji, petikan jari ataupun  mainan di teling apasien. Dilihat apakah pasien merespon terhadap stimulus tersebut.
N. IX (n. Glosofaringeus) : dilihat apakah ada devisasi uvula.
N. X (n. Vagus): dinilai refleks muntah dan gangguan menelan.
N. XI (n. Aksesorius) : dilakukan dengan meminta pasien mengangkat bahu dan memeringkan kepala ke kanan / kiri dan dinilai apakah pasien mampu menahan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
Tonus : di amati dari inspeksi, gerakan pasif / aktif.
Motorik : pada anak yang sudah besar atau kooperatif mengikuti perintah, perlu dilakukan penilaian kekuatan motorik dari skala 0-5.
5 : mampu melawan tahanan normal
4 : hanya mampu melawan tahanan ringan
3 : hanya mampu melawan gravitasi
2 : hanya mampu menggerakkan ke lateral (tidak melawan gravitasi)
1 : hanya ada kontraksi otot
0 : tidak ada kontraksi

Pada bayi dan anak kecil yang belum bisa mengikuti perintah, cukup dilakukan observasi gerakan (aktif / pasif, simetrisitas) dan respon terhadap rangsang nyeri ringan, seperti digelitik. Selain itu, apabila ditemukan dekortikasi (posisi fleksi) berarti ada kerusakan di traktus spinalis sedangkan bila ditemukan deserbrasi (posisi ekstensi) kemungkinan ada kerusakan di dekat traktus vestibulospinalis atau keracunan.
Refleks fisilogis : diperiksa refleks achiles, patela, bisep dan triseps. Dinilai pula apakah refleksnya normal, meningkat menurun atau negatif.
Refleks patologis : diperiksa refleksi seperti refleksi Babinski, klonus patella dan klonus pergelangan kaki.
Tanda rangsang meningeal : memeriksa kaku kuduk, tanda brudzinski I & II, tanda kernig dan tanda lasgue. Apabila hasil dari pemeriksaan tersebut adalah positif, maka kemungkinan ada kerusakan di selaput otak (meningitis)
  
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis, bila dokter sudah bisa memperkirakan penyebab penurunan kesadarannya maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk mengonfirmasi temuan yang didapatkan. Beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
Darah perifer lengkap
Kultur darah : untuk melihat jenis etiologi penyebab penurunan kesadaran
Analisis gas darah, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal, kadar gula darah untuk menegakkan / menyingkirkan kemungkinan etiologi metabolik.
Pungsi lumbal : melihat karakteristik cairan serebrospinal yang dapat mengarahkan ke jenis-kenis infeksi sistem saraf pusat.
CT Scan / MRI kepala : melihat gambaran lesi di otak (edema, nekrosis, dll)
EEG : melihat aktivitas listrik obat.

2.   Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang endemis di Indonesia yang disebabakan oleh infeksi sistemik bakteri Salmonella sp. Sebagian besar kasus demam tifoid disebabkan S.typhii, sisanya disebabkan oleh S.paratyphii. Sebagian besar kasus terjadi pada anak yang berusia >5 tahun akan tetapi gejala dan tanda klinisnya masih sangat luas sehingga sulit didiagnosis dan dibedakan. Untuk memastikan diagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi.7

1.3.1 Etiologi
Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia disebabkan oleh S.typhii, sementara sisanya disebabkan oleh S,paratyphii. Keduanya merupakan Gram-negatif. Masa inkubasi sekitar 10-14 hari. Penularan terjadi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi terkontaminasi S.typhii. Sekali masuk ke dalam tubuh, kuman akan berkembang biak dan menyebar ke pembuluh darah.7

1.3.2 Patogenesis dan Patofisiologi Demam Tifoid
Bakteri awalnya masuk bersama makanan / minuman yang terkontaminasi S.typhii atau S.paratyphii, setelah melewati lambung bakteri mencapai epitel usus halus (ileum) dan menyebabkan inflasmasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria. Bakteri kemudia menembus dinding usus hingga mencapai jaringan folikel limfoid usus halus (plaque peyer) atau plak peyeri. Dari tempat tersebut bakteri dapat masuk dapat masuk ke aliran limfe mesenterika hingga ke aliran darah atau sirkulasi darah (bakteremia primer atau bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan RES atau retikuloendotelial (hepar, limpa dan sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke sirkulasi sistemik (bakteremia sekunder atau bakteremia II) dan menginvasi organ lain baik intra maupun ekstraintestinal.7,8  

1.3.3 Manifestasi Klinis
Anamnesis
Demam naik secara bertahap tiap hari terutama pada sore atau malam hari, suhu mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus-menerus naik. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah dan perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.7

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Terdapat penurunan kesadaran, delirium, sebagian besar kasus anak mempunyai lidah tifoid (lidah kotor atau coated tongue) yaitu dibagian tengah kotor, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Terkadang dapat terdengar ronki pada pemeriksaan paru.7

Tanda dan Gejala
Masa Inkubasi (10-14 hari) bersifat asimtomatis
Fase Invasi : Demam ringan, naik secara bertahap, terkadang suhu malam lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Gejala lainnya adalah nyeri kepala, rasa tidak nyaman pada saluran cerna, mual, muntah, sakit perut, batuk, lemas dan konstipasi.
Fase Tifoid : Di akhir minggu pertama, demam telah mencapai suhu tertinggi dan akan konstan tinggi selama minggu kedua. Tanda lainnya adalah bradikardia relatif, pulsasi dikrotik, hepatomegali, splenomegali, lidah tifoid serta diare dan konstipasi.
Fase konvalens : Demam mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup lama. Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus, bakteri masih ada dalam jumlah minimal (menjadi karier kronis)

1.3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium darah tepi berupa anemia pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi besi atau perdarahan usus. Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/uL, limfositosis relatif, trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat dan aneosinofilia. Pemeriksaan serologi berupa:7,9
Serologi Widal untuk sekarang sudah tidak direkomendasikan oleh AAP dan IDAI, karena nilai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup rendah dan nilai diagnosis yang rendah.
Kadar IgM dan IgG (Typhii-dot)
Anti-Salmonella 09 antibodies (Tubex), mempunyai sensitivitas (75% - 85%) dan spesifisitas (75%-90%).
Biakan Salmonella
Biakan empedu dari spesimen darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit dengan sensitivitas 60%
Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4, walaupun sudah diberi pengobatan sensitivitas masih tinggi (90%)
Pemeriksaan radiologik :
Rontgen toraks apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
Rontgen abdomen bila dicurigai terjadi komplikasi intraintestinal (Peritonitis, perforasi usus ataupun perdarahan saluran cerna)
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laju endap darah dan pemeriksaan enzim transaminase.

Diagnosis
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis tifoid yang didukung dengan minimal salah satu pemeriksaan penunjang berikut:
Uji diagnostik lainnya yang lebih sensitif dan spesifik seperti serologi IgM, Immunoblotting (Typhi-dot), DNA probe, serta pemeriksaan PCR
Biakan Salmonella typhii

Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah Influenza, gastroenteritis, bronkitis, bronkopneumonia. Pada demam tifoid yang berat maka sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin.7

1.3.5 Tata laksana
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu Istirahat dan perawatan, Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dan pemberian antimikroba.7,8,9
Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi, BAK dan BAB akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali diajaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai.

Diet dan Terapi Penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam suatu proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi dari perdarahan saluran cerna ataupun perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan.7,8,9
Antibiotik Medikamentosa
Lini 1
-. Kloramfenikol (drug of choice) 100 mg/KgBB/hari per oral atau IV dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Kloramfenikol tidak boleh diberikan apabila leukosit <2000/uL.
-. Amoksisilin 100 mg/KgBB/hari per oral atau IV selama 10 hari
-. Kotrimoksazol (Sulfamethoxazole / TMP) 6-8 mg / KgBB/hari 3 bulan 7 hari dibagi 2 dosis.
Lini 2 (Multidrug resisten Salmonella typhii)
-. Seftriakson 80 mg/KgBB/hari IV atau IM sekali sehari selama 5 hari
-. Sefiksim 10 mg/KgBB/Kali per oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari
-. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan penurunan kesadaran : deksametason 1-3 mg/KgBB/hari IV dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik
-. Pertimbangkan transfusi darah pada kasus dengan perdarahan saluran cerna.
Tindakan bedah diperlukan apabila terjadi perforasi usus.

1.3.6 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid bisanya menyebabkan terjadinya peritonitis, perdarahan saluran cerna, suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun atau menghilang, ditemukan defans muskular, dan pekak hati menghilang. Selain itu dapat menyebabkan perforasi intestinal, ensefalopati tifoid dan hepatitis tifosa. Peritonitis harus dibedakan dengan perforasi dan perdarah saluran cerna dengan melakukan pemeriksaan pencitraan abdomen. Pada peritonitis dapat diberikan pengobatan medikamentosa.7

Tinjauan Pustaka
1. Grossman SC, Porth C. Lippincott Williams & Wilkins. Disorders of brain function. In : Porth’s pathophysiology: concetps of altered health states. 9thed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2014 p. 489-524
2. Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Pemeriksaan fisis. In: Pemeriksaan klinis pada bayi dan anak. 3rd ed. Jakarta: Sagung Seto: 2014. P.19-38
3. Hartman ME, Cheifetz IM. Pediatric emergencies and resuscitation. In : Kliegman R, Behrman RE, Nelson WE, editors. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia. PA: Elsevier;2016. P.489-506.
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia:2011
5. Nelson DS. Coma and altered level of consciousness. In : Fleisher GR, Ludwig S, ed. Textbook of pediatric emergency medicine. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010
6. Klegman RM, et al. Nelson Pediatric Symptom-Based Diagnosis. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier: 2018. Chapter 31: Altered Mental status. P.534-5
7. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, ed. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011
8. Sumarmo SPS, Herry G, Sri RSH, Hindra IS, ed. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012
9. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJ AFI. 2003;59:130-5

Regards

Blog Dokter Sobri

No comments:

Post a Comment

# Silahkan berkomentar, bertanya dan kritik dengan sopan
# Disini anda boleh menyisipkan Link di kolom komentar
# Tetapi akan saya moderasi atau Review terlebih dahulu tiap komentar
# Jangan sampai komentar anda mengandung SPAM.

# Terima Kasih